Untaian Sejarah Kutai di Tepian Mahakam
HL | 17 November 2011 | 06:52 Dibaca: 1846 Komentar: 18 2 menarik
Mengunjungi Kutai Kartanegara
serasa menapaki masa lalu dengan catatan sejarahnya yang panjang.
Kejayaan dan kedigjayaan berpadu dengan perang dan perseturuan, mengisi
lorong waktu berabad-abad. Berawal dari Kerajaan Kutai yang dikenal
sebagai kerajaan tertua di Indonesia, kini lorong waktu tersebut sudah
berada di masa kini dengan segala modernisasinya. Sejumlah bukti dan
saksi bisu dari catatan sejarah Kerajaan Kutai pun tersimpan di Museum
Mulawarman, yang sedang direnovasi dan diperluas. Bangunannya terlihat
jelas dari pinggir sungai Mahakam yang berair keruh dengan warna coklat
muda. Lokasi museum di Jalan Dipenogoro Nomor 26 Tenggarong.
Kehadiran nama Mulawarman dalam buku
sejarah kerajaan di Indonesia terpatri dalam 7 prasasti berupa tugu batu
atau Yupa. Prasasti Yupa tersebut berasal dari abad ke-5 masehi yang
ditulis dalam bahasa Sansekerta dengan huruf Pallawa. Melalui prasasti
itulah generasi masa kini mengenal Mulawarman- putra dari Raja
Aswarman, atau cucu dari Maharaja Kudungga -sebagai raja yang pernah
memerintah di Kerajaan Kutai Martadinata yang berlokasi di Muara Kaman.
Menurut teman di Samarinda, konon Sang Raja Mulawarman mempunyai
kendaraan tunggang bernama Lembu Suana. Patung Lembu Suana yang menjadi
lambang kerajaan Kutai Kartanegara terpampang di ruang depan Museum
Mulawarman. Patung tersebut dibuat di Birma tahun 1855, terbuat dari
perunggu kepal. Patung-patung Lembu Suana pun bertebaran di beberapa
sudut kota, baik di Tenggarong maupun di Samarinda. salah satunya
terpajang di halaman depan Museum Mulawarman.
Mencerna catatan sejarah Kutai dari
narasumber dan berbagai sumber, tiba-tiba lorong waktu langsung melompat
ke abad ke-13. Konon, pada masa itu kerajaan kutai yang lain muncul.
Namanya Kutai Kartanegara yang berlokasi di Tepian Batu dengan Aji
Batara Agung Dewa Sakti sebagai raja pertamanya. Entah apa yang terjadi
pada dalam kurun waktu antara abad ke-5 sampai abad ke-13 itu. Yang
jelas, Kutai Martadipura masuk dalam periode kerajaan Hindu, sedang
Kerajaan Kutai Kartanegara akhirnya menerima kehadiran Islam pada abad
ke-17. Lorong waktu pun seperti melompat-lompat semakin mendekat ke masa
kini. Salah satu ruang museum pun menyajikan jejak-jejak periode
kerajaan hindu kutai. Prasasti dan nama dewa-dewi pun terpatri pada satu
ruangan khusus.
Hidup bertetangga tidak selalu akur.
Demikian juga dengan Kutai Martadinata dan Kutai Kertanagara.
Perselisihan antara keduanya dimenangkan oleh Kutai Kartanegara yang
saat itu dipimpin oleh Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa. Nama
kerajaannya pun berganti menjadi Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Nama-nama rajanya berganti dengan nama islam yang masuk pada abad ke-17.
Mungkin, kehadiran Islam di Kesultanan Kutai melatarbelakangi
pembangunan Masjid Islamic Center yang megah di Samarinda. Konon masjid
tersebut menjadi yang terbesar kedua di ASEAN setelah Mesjid Istiqlal.
Mesjid di tepian Mahakam terlihat terlihat indah dilihat dari depan
kantor gubernur yang juga berada di tepi mahakam.
Solidaritas atau persekutuan dalam
sejarah kerajaan sudah sejak dulu. Sultan Aji Muhammad Idris pergi ke
Wajo untuk membantu peperangan antara Bugis dengan Belanda sampai
dikabarkan gugur di medan laga pada tahun 1739. Masyarakat Bugis terkait
erat dengan sejarah terbentuknya nama Samarinda pada abad ke 16, yaitu
dengan kedatangan sebagaian pasukan Bugis yang tidak setuju dengan
perdamaian Bongaya antara Kerajan Gowa dengan Hindia Belanda. Setelah
meninggalnya Suktan Aji Muhammad Idris, tahta Sultan diambil alih tanpa
hak oleh Aji Kado, yang menasbihkan dirinya sebagai Sultan Aji Muhammad
Aliyeddin. Sang putera mahkota yang masih belia- yakni Aji Imbut- pun
diungsikan ke Tanah Wajo dengan perlindungan dari masyarakat Bugis. Aji
Imbut ini nantinya dikenal sebagai pendiri kota Tenggarong, yang kini
menjadi ibukota kabupaten Kutai Kartanegara. Kini kantor bupati Kukar
berdiri megah di tepian sungai Mahakam. Nama Aji Imbut ini diabadikan
sebagai nama stadion megah yang dapat terlihat dari depan kantor bupati
Kutai Kartanegara.
Setelah menginjak dewasa, putera mahkota
pulang ke kampung halaman dan dinobatkan sebagai Sultan Kutai dengan
gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatannya di Mangkujenang,
atau dikenal sebagai Samarinda Seberang. Kota Samarinda memang
berseberangan dengan Tenggarong, terpisah dengan Sungai Mahakam yang
sesekali memperlihatkan kapal tronton yang membawa pasir batubara.
Periode peperangan pun dimulai antara
Aji Kado dan Aji Imbut. Akhirnya putera mahkotalah yang memenanginya.
Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil merebut kembali ibukota Pemarangan
dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji
Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Konon,
untuk menghilangkan trauma masa lalu perseteruan, pada tanggal 28
September 1782 Aji Imbut memindahkan ibukota kesultanan ke Tepian
Pandan. Nama ibukota tersebut berubah menjadi Tangga Arung yang berarti
rumah raja. Seiring dengan waktu, kini nama Tangga Arung berubah menjadi
Tenggarong, yang kini menjadi ibukota pemerintahan kabupaten Kutai
Kartanegara.
Kutai tidak luput dari penjajahan
bangsa-bangsa Eropa, khususnya Eropa. Awalnya, kehadiran pasukan
Inggris disambut terbuka karena berbiat dagang. Namun karena mendapat
tanah sewaan yang kurang memadai, pasukan Inggris pun menyerang istana
dengan meriam dari armada lautnya. Pasukan kecil Inggris akhirnya bisa
diusir, namun tidak demikian dengan Belanda. Kerajaan Kutai pun harus
takluk dan mengakui Hindia Belanda. Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan
A.M. Salehuddin harus menandatangani perjanjian dengan Belanda yang
menyatakan bahwa Sultan mengakui pemerintahan Hindia Belanda yang
diwakili oleh seorang Residen yang berkedudukan di Banjarmasin. Jejak
kolonialisme pun terwakili dengan keberadaan dua meriam di sisi kiri
halaman depan museum yang arsitekturnya bergaya Eropa.
Singkat cerita, Indonesia terlepas dari
penjajahan Belanda dan Jepang. Kutai Kartanegara pun tetap menjadi
bagian dari NKRI sampai kini. Sejarah panjang di masa lalu itu pun
sebagian mengisi Museum Mulawarman yang tepat di pinggir Sungai
Mahakam. Berbagai display yang tersaji pun seperti deretan gambar
bercerita tentang masa lalu Kutai Kertanagara. Ruang dan display seolah
menjadi segmen-segmen waktu yang menceritakan babad kesultanan Kutai di
masa lalu. Sebagian besar Sultan beserta keluarga terdekatnya
disemayamkan di kompleks pemakaman yang terletak di samping Bangunan
Museum Mulawarman
Museum yang sedang direnovasi tersebut-
diresmikan pada tahun 1971 oleh Pangdam IX Mulawarman- menjadi salah
satu daya tarik saya berkunjung ke sana. Museum pun berdekatan dengan
obyek wisata yang berada di depannya. Tepi mahakam pun tertata dengan
baik. Pulau Kumala yang berada tepat berada di tengah sungai Mahakam
telah direklamasi menjadi obyek wisata baru. Lintasan kereta gantung di
atas melintasi pulau, sejajar dengan Jembatan Mahakam yang berdiri kokoh
di atas sungai terlebar di Indonesia.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar